REFLEKSI KURBAN
Tanpa terasa, gema takbir Idul Adha telah berlalu. Saat itu darah dari puluhan bahkan mungkin ratusan ribu hewan kurban di seluruh dunia
Gegap gempita umat Islam seluruh dunia dalam melaksanakan kurban ini tentunya tidak terlepas dari makna kurban itu sendiri. Kurban secara bahasa bermakna “mendekatkan”, dari kata qorroba, yuqarribu, qurbanun. Secara syar’i sebagaimana sunnah Rasulullah SAW, kurban adalah penyembelihan hewan ternak (domba, sapi, atau unta) sebagai salah satu rangkaian perayaan Idul Adha (Hari Raya Haji). Secara teologis, kurban adalah penapakan atas jejak tauhid nabi-nabi lewat kisah “pengurbanan” Ismail oleh Ibrahim; sebuah kisah yang menunjukkan betapa Ibrahim sanggup mempertaruhkan apa saja — termasuk perintah penyembelihan Ismail — demi kepatuhannya kepada Tuhan.
Dengan memahami tiga elemen kurban di atas (bahasa, syar’i, dan teologis), maka setidaknya ada tiga pemahaman penting yang tidak boleh dilepaskan dari ibadah kurban.
Pertama, meskipun secara material mengandung sejumlah manfaat (dagingnya bisa dibagikan dan dikonsumsi fakir miskin), tetapi sesungguhnya penyembelihan hewan kurban lebih bersifat simbolis.
Kedua, sebagai simbol, tentu saja, penyembelihan hewan kurban itu membawa pesan penting (esensi), sebagaimana yang terkandung dalam bahasa dan sejarah teologis yang melandasinya. Esensi yang dimaksud adalah bahwa kurban sebagai salah satu cara ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Tuhan.
Ketiga, agar bisa mendekatkan diri kepada Tuhan, maka segala keegoan (baca: penuhanan hawa nafsu) yang merasuki pribadi manusia harus diruntuhkan, dengan simbolisasinya: pengucuran darah dan penyebaran daging hewan kurban kepada khalayak miskin. Dengan demikian; kurban adalah cara pentauhidan kembali nilai ketuhanan manusia, yang mungkin dalam perjalanan setahun ternodai oleh bentuk-bentuk penuhanan terhadap tuhan-tuhan (palsu).
Hukum Berkurban
Hukum berkurban adalah sunnah muakkadah dengan dalil hadits dari Ummu Salamah yang menyebutkan bahwa Nabi SAW bersabda :
"Jika kalian telah memasuki hari raya, tanggal 10 Dzulhijjah, dan salah seorang dari kalian ingin berkurban, hendaknya ia tidak memotong rambut dan kukunya." (HR. Muslim)
Ungkapan "ingin berkurban" dalam hadits di atas menunjukkan kebijaksanaan dan pengampunan Allah terhadap orang yang belum mampu menunaikan kurban. Namun, yang menjadi pertanyaan, bagaimana hukumnya jika berkurban tidak diniatkan sebeum datangnya Id atau niat itu baru muncul-sebab Allah baru mendatangkan rezeki-pada hari pertama atau kedua Id? Dalam hal ini Anda tidak ada masalah untuk menunaikan kurban. Artinya, hukum kurban menjadi mustahab (lebih disukai).
Sebagian ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa berkurban hukumnya wajib bagi orang yang memiliki nisab zakat. Acuan mereka adalah hadits shahih yang berbunyi :
"Barangsiapa berkelebihan (dalam harta) tetapi tidak menyembelih hewan kurban, janganlah dia mendekati masjidku." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Jumhur ulama menilai bahwa hadits tersebut mauquf dan tidak sampai kepada Rasulullah SAW. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa syariat berkurban itu hukumnya sunnah ain untuk setiap individu muslim dan sunnah kifayah untuk setiap keluarga muslim.
KURBAN DI BUMI TOTABUAN
Sebagaimana tahun sebelumnya, Idul Adha 1429 H Tahun ini Baitul Maal Totabuan kembali melaksanakan program pengumpulan dan pendistribusian hewan kurban untuk masyarakat di Bumi Totabuan melalui Program , Dengan mengambil tema “Kurban, Wujud Kepedulian dan Kebersamaan,” segenap potensi diupayakan untuk dapat mewujudkan penyaluran kurban pada komunitas masyarakat Bolmong di Sulawesi Utara.
Berdasarkan hasil penghimpunan hewan kurban tahun ini, sebagian besar hewan kurban memang berasal dari pekurban yang bukan berasal dari Bolmong. Mereka adalah orang – orang yang berkurban melalui lembaga – lembaga zakat dan sosial di Jakarta yang kemudian menyalurkannya ke masyarakat Bolmong melalui Yayasan Totabuan.
Adapun total hewan kurban yang diperoleh adalah sebanyak 98 ekor kambing dan 6 ekor sapi dengan total pekurban ada 118 orang. Prosentase pekurban adalah : 40 % dari THK – LPM, 25 % dari THK – DD, 13 % dari ACT, 16 % dari Masy. Bolmong dan 6 % dari Al Azhar (daftar lengkap pekurban terlampir). Berdasarkan perolehan tersebut, miris memang karena ternyata pekurban di Bolmong lebih di dominasi oleh orang – orang yang mungkin baru kali ini mendengar nama Bolmong (hanya 19 orang).
Memang menggugah kepedulian seseorang terhadap masyarakat tidaklah mudah, karena semua itu tergantung pada kesadaran masing – masing individu. Meskipun begitu, kami yakin sebagian besar masyarakat Bolmong yang ada di Jakarta sudah menjalankan kurbannya meski tidak disampaikan kepada yang lebih membutuhkan di kampung halamannya melainkan di tempat masing – masing. Ada yang berkurban di komplek rumahnya, ada yang di kantor, ada juga yang menyampaikannya di tempat lain yang menurutnya lebih membutuhkan.
Pada hari Raya Idul adha, pelaksanaan kurban difokuskan di Kecamatan Dumoga. Hari Tasyrik I karena kesulitan hewan kurban akhirnya melakukan pemesanan 50 ekor kambing di Gorontalo sambil melaksanakan kurban di daerah Minsel dan Bitung yang memang telah mempersiapkan hewan kurbannya di lokasi. Hari tasyrik II pelaksanaan kurban difokuskan ke daerah Bolmong Selatan, khususnya di daerah sekitar Molibagu. Pada hari tasyrik terakhir tim di pecah dua, yang satu menuju Buroko, Bolmong Utara dan satu tim lagi menyelesaikan di Kotamobagu
Memang dalam pelaksanaan kurban tahun ini masih banyak masyarakat yang belum memperoleh hewan kurban, namun karena keterbatasan maka belum bisa terpenuhi. Semoga di tahun mendatang akan lebih baik lagi dan tentunya masyarakat bolmong khususnya yang ada di Jakarta dan sekitarnya dapat lebih tergerak hatinya untuk membantu menyalurkan hewan kurbannya ke saudara kita yang lebih membutuhkan di Bumi totabuan tercinta. (AN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar